Saturday, March 11, 2017

REKONFIGURASI HUTAN JAWA : SEBUAH PETA JALAN USULAN CSO

Author(s)
Ronald Muh Ferdaus, Paramitra Iswari, Erwin Dwi Kristianto, Mumu Muhajir, Totok Dwi Diantoro, Sugging Septivianto

Ringkasan

Pulau Jawa merupakan salah satu daerah terpadat di dunia dengan lebih dari 136 juta jiwa tinggal di daerah seluas 129.438,28 km2. Dengan luasan hanya sekitar 6 persen dari keseluruhan daratan di Indonesia, Jawa dihuni lebih dari 50 persen jumlah keseluruhan penduduk Indonesia. Kepadatan pulau Jawa tentu saja berimplikasi pada besarnya tekanan pada sumberdaya alam demi kelangsungan hidup sehari‐hari. Tekanan ini terutama terjadi di 4.614 desa yang berada di dalam atau di sekitar hutan. Pada sisi lain besarnya tekanan pada sumberdaya alam di pulau Jawa ini hanya didukung oleh sejumlah kecil luasan lahan hutan.Data yangdipublikasikan oleh BPKH Wilayah XI, Jawa‐Madura (2012) menunjukkan bahwa dari 98 juta hektar kawasan hutan di seluruh Indonesia, hanya sekitar 3.38% saja yangtercatat berada di pulau ini.
Dengan luasan sekitar 2.4 juta ha sebanyak 85,37% hutan di Jawa diserahkan pengelolaannya pada Perum Perhutani. Penguasaan hutan dalam skala masif oleh Perhutani ini pada sisi lain kemudian diiringi dengan meningkatnya krisis ekologis di pulau Jawa. Gejala telah terjadinya krisis ekologis ini terlihat dari terusberkurangnya luas tutupan hutan Jawa tiap tahunnya. Pada tahun 2000 luas tutupan hutan di Jawa diperkirakan sekitar 2,2 juta hektar. Namun pada tahun 2009 luas tutupan hutan hanya tinggal 800an ribu hektar. Perubahan tutupan hutan ini terjadi karena deforestasi, baik terencana maupun tidak, atau oleh degradasi hutan. Terdapat sejumlah faktor yang berkontribusi pada percepatan laju deforestasi dan degradasi hutan, seperti kepentingan pembangunan dan ekonomi; ketergantungan masyarakat pada sumberdaya alam; pertumbuhan penduduk dan pengaruhnya; tingginya permintaan pasar akan kayu dan produk kayu; tingginya permintaan dan harga komoditas perkebunan dan pertambangan; kepemilikan lahan yang tidak jelas; kepentingan politik; dan buruknya tata kepengurusan (bad governance) sumberdaya hutan.  
Berkurangnya luasan tutupan hutan ini secara drastis berdampak pada terganggunya daerah aliran sungai (DAS) di Pulau Jawa. Data dari Kementrian Lingkungan Hidup menyebutkan sebanyak 123 titik DAS dan Sub‐DAS di Pulau Jawa terganggu akibat degradasi dan deforestasi hutan. Hal ini kian menegaskan terancamnya Jawa oleh krisis ekologis. Ancaman bencana yang terjadi di Pulau Jawa, seperti banjir, longsor, kekeringan menjadi sangat mencolok jika dibandingkan dengan kenyataan kejadian yang sama di daerah Indonesia lainnya.  
Di samping mengalami krisis ekologis, salah urus Pulau Jawa juga diwarnai krisis sosial. Yang paling menonjol tentu saja kemiskinan yang akut. Data BPS (2012)menunjukkan jumlah penduduk miskin di desa pada Pulau Jawa adalah 8.703.350 jiwa. Sejauh ini diyakini bahwa kemiskinan yang dialami masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan Jawa terutama disebabkan oleh keterbatasan lahan yang dimiliki.Dalam data Sensus Pertanian (1993)RACA Intitute menyebutkan bahwa penguasaan tanah petani di Jawa rata‐rata 0,3 ha/KK. Sedangkan berdasarkan data yang dikumpulkan dari sebuah pertemuan organisasi petani pada tahun 2012, fakta mengenai kepemilikan tanah oleh masyarakat ini cenderung mengalami penurunan menjadi 0,1 – 0,25 ha/KK.
Selain sejumlah faktor yang telah disebutkan diatas, kemiskinan juga disebabkan oleh terbatasnya akses terhadap sumberdaya hutan yang ada di sekitarnya.Dalam pengelolaan hutan Jawa yang berlaku selama ini kawasan hutan adalah bukan kekayaan alam yang seharusnya juga bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat desa, karena seperti telah dijelaskan sebelumnya hak pengelolaan sebagian besar hutan Jawa diserahkan kepada Perhutani sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No.72 Tahun 2010.
Dengan karakteristik kerja Perhutani, alih‐alih mengatasi krisis sosial yang terjadi selama ini konflik dan eksploitasi terhadap masyarakat justru semakin tajam. Dalam catatan HuMa (2013), dari 72 konflik terbuka kehutanan yang terjadi di Indonesia, 41 (empat puluh satu) konflik hutan terjadi di Jawa yang nota bene diurus oleh Perum Perhutani. Rekonfigurasi hutan Jawa dengan demikian diperlukan untuk melestarikan hutan guna memperbaiki keseimbangan ekologi Pulau Jawa, serta perluasan ruang kelola rakyat guna mengentaskan kemiskinan masyarakat desa hutan. Perubahan dilakukan terhadap beberapa aspek penting yaitu: Paradigma, Tata Kuasa, Tata Guna, dan Kebijakan.  
Rekonfigurasi hutan Jawa harus dimulai dari perubahan paradigma dengan memaknai hutan sebagai satu kesatuan utuh atau holistik, tidak hanya dilihat sebagai sumber produksi hasil hutan kayu ataupun non kayu. Rekonfigurasi hutan Jawa juga memerlukan perubahan paradigma pada tataran pengelolaannya, dari hanya sekedar bisnis lahan ataupun pengusahaan hutan, dikembalikan menjadi pengelolaan hutan (bukan sekedar lahan, dan bukan sekedar pengusahaan). Proses perubahan paradigma pengelolaan hutan seharusnya dimulai dengan merevisi Undang‐undang Kehutanan sebagai dasar kebijakan pengelolaan hutan di Indonesia.

 

Full Text:

PDF (Indonesian)

 

 

MANAJEMEN PEMBINAAN KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA BAGI PEKERJA LAS INFORMAL DI BENGKEL LAS KABUPATEN SUMEDANG

  " MANAGEMENT OF OCCUPATIONAL HEALTH AND SAFETY DEVELOPMENT FOR INFORMAL WELDING WORKERS AT WELDING WORKSHOPS IN SUMEDANG DISTRICT&quo...