Author(s)
Ronald Muh Ferdaus, Paramitra Iswari, Erwin Dwi Kristianto, Mumu Muhajir, Totok Dwi Diantoro, Sugging Septivianto
Ringkasan
Pulau Jawa merupakan
salah satu daerah terpadat di dunia dengan lebih dari 136 juta jiwa tinggal di daerah
seluas 129.438,28 km2. Dengan luasan hanya sekitar 6 persen dari keseluruhan daratan
di Indonesia, Jawa dihuni lebih dari 50 persen jumlah keseluruhan penduduk Indonesia.
Kepadatan pulau Jawa tentu saja berimplikasi pada besarnya tekanan pada sumberdaya
alam demi kelangsungan hidup sehari‐hari. Tekanan ini terutama terjadi di 4.614
desa yang berada di dalam atau di sekitar hutan. Pada sisi lain besarnya tekanan
pada sumberdaya alam di pulau Jawa ini hanya didukung oleh sejumlah kecil luasan
lahan hutan.Data yangdipublikasikan oleh BPKH Wilayah XI, Jawa‐Madura (2012)
menunjukkan bahwa dari 98 juta hektar kawasan hutan di seluruh Indonesia, hanya
sekitar 3.38% saja yangtercatat berada di pulau ini.
Dengan luasan sekitar
2.4 juta ha sebanyak 85,37% hutan di Jawa diserahkan pengelolaannya pada Perum Perhutani.
Penguasaan hutan dalam skala masif oleh Perhutani ini pada sisi lain kemudian
diiringi dengan meningkatnya krisis ekologis di pulau Jawa. Gejala telah terjadinya
krisis ekologis ini terlihat dari terusberkurangnya luas tutupan hutan Jawa tiap
tahunnya. Pada tahun 2000 luas tutupan hutan di Jawa diperkirakan sekitar 2,2
juta hektar. Namun pada tahun 2009 luas tutupan hutan hanya tinggal 800an ribu hektar.
Perubahan tutupan hutan ini terjadi karena deforestasi, baik terencana maupun
tidak, atau oleh degradasi hutan. Terdapat sejumlah faktor yang berkontribusi
pada percepatan laju deforestasi dan degradasi hutan, seperti kepentingan
pembangunan dan ekonomi; ketergantungan masyarakat pada sumberdaya alam; pertumbuhan
penduduk dan pengaruhnya; tingginya permintaan pasar akan kayu dan produk kayu;
tingginya permintaan dan harga komoditas perkebunan dan pertambangan; kepemilikan
lahan yang tidak jelas; kepentingan politik; dan buruknya tata kepengurusan (bad
governance) sumberdaya hutan.
Berkurangnya luasan
tutupan hutan ini secara drastis berdampak pada terganggunya daerah aliran sungai
(DAS) di Pulau Jawa. Data dari Kementrian Lingkungan Hidup menyebutkan sebanyak
123 titik DAS dan Sub‐DAS di Pulau Jawa terganggu akibat degradasi dan deforestasi
hutan. Hal ini kian menegaskan terancamnya Jawa oleh krisis ekologis. Ancaman bencana
yang terjadi di Pulau Jawa, seperti banjir, longsor, kekeringan menjadi sangat mencolok
jika dibandingkan dengan kenyataan kejadian yang sama di daerah Indonesia
lainnya.
Di samping mengalami
krisis ekologis, salah urus Pulau Jawa juga diwarnai krisis sosial. Yang paling
menonjol tentu saja kemiskinan yang akut. Data BPS (2012)menunjukkan jumlah penduduk
miskin di desa pada Pulau Jawa adalah 8.703.350 jiwa. Sejauh ini diyakini bahwa
kemiskinan yang dialami masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan Jawa
terutama disebabkan oleh keterbatasan lahan yang dimiliki.Dalam data Sensus
Pertanian (1993)RACA Intitute menyebutkan bahwa penguasaan tanah petani di Jawa
rata‐rata 0,3 ha/KK. Sedangkan berdasarkan data yang dikumpulkan dari sebuah
pertemuan organisasi petani pada tahun 2012, fakta mengenai kepemilikan tanah oleh
masyarakat ini cenderung mengalami penurunan menjadi 0,1 – 0,25 ha/KK.
Selain sejumlah faktor
yang telah disebutkan diatas, kemiskinan juga disebabkan oleh terbatasnya akses
terhadap sumberdaya hutan yang ada di sekitarnya.Dalam pengelolaan hutan Jawa yang
berlaku selama ini kawasan hutan adalah bukan kekayaan alam yang seharusnya juga
bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat desa, karena seperti telah dijelaskan
sebelumnya hak pengelolaan sebagian besar hutan Jawa diserahkan kepada
Perhutani sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No.72 Tahun 2010.
Dengan karakteristik
kerja Perhutani, alih‐alih mengatasi krisis sosial yang terjadi selama ini
konflik dan eksploitasi terhadap masyarakat justru semakin tajam. Dalam catatan
HuMa (2013), dari 72 konflik terbuka kehutanan yang terjadi di Indonesia, 41 (empat
puluh satu) konflik hutan terjadi di Jawa yang nota bene diurus oleh Perum Perhutani.
Rekonfigurasi hutan Jawa dengan demikian diperlukan untuk melestarikan hutan guna
memperbaiki keseimbangan ekologi Pulau Jawa, serta perluasan ruang kelola rakyat
guna mengentaskan kemiskinan masyarakat desa hutan. Perubahan dilakukan terhadap
beberapa aspek penting yaitu: Paradigma, Tata Kuasa, Tata Guna, dan Kebijakan.
Rekonfigurasi hutan
Jawa harus dimulai dari perubahan paradigma dengan memaknai hutan sebagai satu kesatuan
utuh atau holistik, tidak hanya dilihat sebagai sumber produksi hasil hutan kayu
ataupun non kayu. Rekonfigurasi hutan Jawa juga memerlukan perubahan paradigma pada
tataran pengelolaannya, dari hanya sekedar bisnis lahan ataupun pengusahaan hutan,
dikembalikan menjadi pengelolaan hutan (bukan sekedar lahan, dan bukan sekedar
pengusahaan). Proses perubahan paradigma pengelolaan hutan seharusnya dimulai dengan
merevisi Undang‐undang Kehutanan sebagai dasar kebijakan pengelolaan hutan di Indonesia.
Full Text:
PDF (Indonesian)