Tuesday, August 15, 2017

DOING BUSINESS 2017 : EQUAL OPPORTUNITY FOR ALL




Fourteenth in a series of annual reports comparing business regulation in 190 economies, Doing Business 2017 measures aspects of regulation affecting 10 areas of everyday business activity: • Starting a business • Dealing with construction permits • Getting electricity • Registering property • Getting credit • Protecting minority investors • Paying taxes • Trading across borders • Enforcing contracts • Resolving insolvency. These areas are included in the distance to frontier score and ease of doing business ranking. Doing Business also measures features of labor market regulation, which is not included in these two measures. This year’s report introduces major improvements by expanding the paying taxes indicators to cover postfiling processes—tax audits, tax refunds and tax appeals—and presents analysis of pilot data on selling to the government which measures public procurement regulations. Also for the first time this year Doing Business collects data on Somalia. Using the data originally developed by Women, Business and the Law, this year for the first time Doing Business adds a gender component to three indicators—starting a business, registering property, and enforcing contracts—and finds that those economies which limit women’s access in these areas have fewer women working in the private sector both as employers and employees.


Full Text:

PDF (English)


Citation

“World Bank Group. 2016. Doing Business 2017 : Equal Opportunity for All. Washington, DC: World Bank. © World Bank. https://openknowledge.worldbank.org/handle/10986/25191 License: CC BY 3.0 IGO.”

Saturday, March 11, 2017

REKONFIGURASI HUTAN JAWA : SEBUAH PETA JALAN USULAN CSO

Author(s)
Ronald Muh Ferdaus, Paramitra Iswari, Erwin Dwi Kristianto, Mumu Muhajir, Totok Dwi Diantoro, Sugging Septivianto

Ringkasan

Pulau Jawa merupakan salah satu daerah terpadat di dunia dengan lebih dari 136 juta jiwa tinggal di daerah seluas 129.438,28 km2. Dengan luasan hanya sekitar 6 persen dari keseluruhan daratan di Indonesia, Jawa dihuni lebih dari 50 persen jumlah keseluruhan penduduk Indonesia. Kepadatan pulau Jawa tentu saja berimplikasi pada besarnya tekanan pada sumberdaya alam demi kelangsungan hidup sehari‐hari. Tekanan ini terutama terjadi di 4.614 desa yang berada di dalam atau di sekitar hutan. Pada sisi lain besarnya tekanan pada sumberdaya alam di pulau Jawa ini hanya didukung oleh sejumlah kecil luasan lahan hutan.Data yangdipublikasikan oleh BPKH Wilayah XI, Jawa‐Madura (2012) menunjukkan bahwa dari 98 juta hektar kawasan hutan di seluruh Indonesia, hanya sekitar 3.38% saja yangtercatat berada di pulau ini.
Dengan luasan sekitar 2.4 juta ha sebanyak 85,37% hutan di Jawa diserahkan pengelolaannya pada Perum Perhutani. Penguasaan hutan dalam skala masif oleh Perhutani ini pada sisi lain kemudian diiringi dengan meningkatnya krisis ekologis di pulau Jawa. Gejala telah terjadinya krisis ekologis ini terlihat dari terusberkurangnya luas tutupan hutan Jawa tiap tahunnya. Pada tahun 2000 luas tutupan hutan di Jawa diperkirakan sekitar 2,2 juta hektar. Namun pada tahun 2009 luas tutupan hutan hanya tinggal 800an ribu hektar. Perubahan tutupan hutan ini terjadi karena deforestasi, baik terencana maupun tidak, atau oleh degradasi hutan. Terdapat sejumlah faktor yang berkontribusi pada percepatan laju deforestasi dan degradasi hutan, seperti kepentingan pembangunan dan ekonomi; ketergantungan masyarakat pada sumberdaya alam; pertumbuhan penduduk dan pengaruhnya; tingginya permintaan pasar akan kayu dan produk kayu; tingginya permintaan dan harga komoditas perkebunan dan pertambangan; kepemilikan lahan yang tidak jelas; kepentingan politik; dan buruknya tata kepengurusan (bad governance) sumberdaya hutan.  
Berkurangnya luasan tutupan hutan ini secara drastis berdampak pada terganggunya daerah aliran sungai (DAS) di Pulau Jawa. Data dari Kementrian Lingkungan Hidup menyebutkan sebanyak 123 titik DAS dan Sub‐DAS di Pulau Jawa terganggu akibat degradasi dan deforestasi hutan. Hal ini kian menegaskan terancamnya Jawa oleh krisis ekologis. Ancaman bencana yang terjadi di Pulau Jawa, seperti banjir, longsor, kekeringan menjadi sangat mencolok jika dibandingkan dengan kenyataan kejadian yang sama di daerah Indonesia lainnya.  
Di samping mengalami krisis ekologis, salah urus Pulau Jawa juga diwarnai krisis sosial. Yang paling menonjol tentu saja kemiskinan yang akut. Data BPS (2012)menunjukkan jumlah penduduk miskin di desa pada Pulau Jawa adalah 8.703.350 jiwa. Sejauh ini diyakini bahwa kemiskinan yang dialami masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan Jawa terutama disebabkan oleh keterbatasan lahan yang dimiliki.Dalam data Sensus Pertanian (1993)RACA Intitute menyebutkan bahwa penguasaan tanah petani di Jawa rata‐rata 0,3 ha/KK. Sedangkan berdasarkan data yang dikumpulkan dari sebuah pertemuan organisasi petani pada tahun 2012, fakta mengenai kepemilikan tanah oleh masyarakat ini cenderung mengalami penurunan menjadi 0,1 – 0,25 ha/KK.
Selain sejumlah faktor yang telah disebutkan diatas, kemiskinan juga disebabkan oleh terbatasnya akses terhadap sumberdaya hutan yang ada di sekitarnya.Dalam pengelolaan hutan Jawa yang berlaku selama ini kawasan hutan adalah bukan kekayaan alam yang seharusnya juga bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat desa, karena seperti telah dijelaskan sebelumnya hak pengelolaan sebagian besar hutan Jawa diserahkan kepada Perhutani sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No.72 Tahun 2010.
Dengan karakteristik kerja Perhutani, alih‐alih mengatasi krisis sosial yang terjadi selama ini konflik dan eksploitasi terhadap masyarakat justru semakin tajam. Dalam catatan HuMa (2013), dari 72 konflik terbuka kehutanan yang terjadi di Indonesia, 41 (empat puluh satu) konflik hutan terjadi di Jawa yang nota bene diurus oleh Perum Perhutani. Rekonfigurasi hutan Jawa dengan demikian diperlukan untuk melestarikan hutan guna memperbaiki keseimbangan ekologi Pulau Jawa, serta perluasan ruang kelola rakyat guna mengentaskan kemiskinan masyarakat desa hutan. Perubahan dilakukan terhadap beberapa aspek penting yaitu: Paradigma, Tata Kuasa, Tata Guna, dan Kebijakan.  
Rekonfigurasi hutan Jawa harus dimulai dari perubahan paradigma dengan memaknai hutan sebagai satu kesatuan utuh atau holistik, tidak hanya dilihat sebagai sumber produksi hasil hutan kayu ataupun non kayu. Rekonfigurasi hutan Jawa juga memerlukan perubahan paradigma pada tataran pengelolaannya, dari hanya sekedar bisnis lahan ataupun pengusahaan hutan, dikembalikan menjadi pengelolaan hutan (bukan sekedar lahan, dan bukan sekedar pengusahaan). Proses perubahan paradigma pengelolaan hutan seharusnya dimulai dengan merevisi Undang‐undang Kehutanan sebagai dasar kebijakan pengelolaan hutan di Indonesia.

 

Full Text:

PDF (Indonesian)

 

 

Wednesday, February 1, 2017

PATHWAYS FOR PEACE : INCLUSIVE APPROACHES TO PREVENTING VIOLENT CONFLICT





The resurgence of violent conflict in recent years has caused immense human suffering, at enormous social and economic cost. Violent conflicts today have become complex and protracted, involving more non-state groups and regional and international actors, often linked to global challenges from climate change to transnational organized crime. It is increasingly recognized as an obstacle to achieving the Sustainable Development Goals by 2030. This has given impetus for policy makers at all levels – from local to global – to focus on preventing violent conflict more effectively. Grounded in a shared commitment to this agenda, Pathways for Peace: Inclusive Approaches to Preventing Violent Conflict is a joint United Nations and World Bank study that looks at how development processes can better interact with diplomacy and mediation, security and other tools to prevent conflict from becoming violent. To understand ‘what works,’ it reviews the experience of different countries and institutions to highlight elements that have contributed to peace. Central to these efforts is the need to address grievances around exclusion from access to power, opportunity and security. States hold the primary responsibility for prevention, but to be effective, civil society, the private sector, regional and international organizations must be involved. Enhancing the meaningful participation of women and youth in decision making, as well as long-term policies to address the aspirations of women and young people are fundamental to sustaining peace.
 

Full Text:

PDF (English)
 
 Citation

“United Nations; World Bank. 2018. Pathways for Peace : Inclusive Approaches to Preventing Violent Conflict. Washington, DC: World Bank. © World Bank. https://openknowledge.worldbank.org/handle/10986/28337 License: CC BY 3.0 IGO.”

Sunday, January 8, 2017

WORLD DEVELOPMENT REPORT 2011 : CONFLICT, SECURITY, AND DEVELOPMENT





The 2011 World development report looks across disciplines and experiences drawn from around the world to offer some ideas and practical recommendations on how to move beyond conflict and fragility and secure development. The key messages are important for all countries-low, middle, and high income-as well as for regional and global institutions: first, institutional legitimacy is the key to stability. When state institutions do not adequately protect citizens, guard against corruption, or provide access to justice; when markets do not provide job opportunities; or when communities have lost social cohesion-the likelihood of violent conflict increases. Second, investing in citizen security, justice, and jobs is essential to reducing violence. But there are major structural gaps in our collective capabilities to support these areas. Third, confronting this challenge effectively means that institutions need to change. International agencies and partners from other countries must adapt procedures so they can respond with agility and speed, a longer-term perspective, and greater staying power. Fourth, need to adopt a layered approach. Some problems can be addressed at the country level, but others need to be addressed at a regional level, such as developing markets that integrate insecure areas and pooling resources for building capacity Fifth, in adopting these approaches, need to be aware that the global landscape is changing. Regional institutions and middle income countries are playing a larger role. This means should pay more attention to south-south and south-north exchanges, and to the recent transition experiences of middle income countries.
 

Full Text:

PDF (English)
 
Citation
 
“World Bank. 2011. World Development Report 2011 : Conflict, Security, and Development. World Bank. © World Bank. https://openknowledge.worldbank.org/handle/10986/4389 License: CC BY 3.0 IGO.”

MANAJEMEN PEMBINAAN KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA BAGI PEKERJA LAS INFORMAL DI BENGKEL LAS KABUPATEN SUMEDANG

  " MANAGEMENT OF OCCUPATIONAL HEALTH AND SAFETY DEVELOPMENT FOR INFORMAL WELDING WORKERS AT WELDING WORKSHOPS IN SUMEDANG DISTRICT&quo...